THE BACKSTAGE
there's so much going on
unspoken in the back
of the mind

September 12, 2019

A letter

Dear God,
I don’t know what the future holds but I’m counting on you.
I don’t know what you’re planning for me. I don’t know how the next few months will unfold but I’m counting on you to give me the strength and patience I need to get through it.
I don’t know if you will answer my prayers or if you will keep taking me on another ride I wasn’t prepared for.
I don’t know if you will give me a break or another difficult test.
I have been trying to handle everything in the best and wisest way possible. I’ve been trying to connect all the dots and understand the bigger picture and follow the signs you’ve been sending me but I admit that I’m tired.
My brain is tired. My heart is tired. My soul is tired.
I don’t know what the future holds but I’m ready for things to change. I’m ready for my life to finally start making sense. I’m ready for peace. I’m longing for stability.
I know that either way, I’ll be fine. That either way, I’ll count on you. I know that you will guide me through the hard times like you always do but I guess I’m asking for leeway this time. I’m ready for a miracle to lift all the heaviness and all the burdens.
I’m counting on you this time but in a different way. Counting on your generosity. Counting on your forgiveness. Counting on your magnificent surprises. Counting on your mercy.
I don’t know what the future holds but I want it to be brighter and better than what I had imagined.
I don’t know what the future holds but all I know is that there’s nothing you can’t do. There’s nothing you can’t fix. That you are the only one who can turn everything around in the blink of an eye.

September 08, 2019

Berguru Kehidupan

Dear Professor X, 

Perkenalkan saya Melani. Saat ini saya sedang melakukan doctoral research di Universität Heidelberg Jerman.

Akhir-akhir ini makin terlihat maraknya self branding yang sering disertai dengan overclaiming di Indonesia. Di dunia akademisi, sering saya lihat rekan-rekan yang memasang status facebook/story instagram terkait naskah publikasinya yang published, foto saat presentasi poster, hingga ada beberapa yang menulis link LinkedIn di profile Instagram. Kultur seperti ini tidak pernah saya temukan di Jerman selama masa studi master dan doktoral saya disini.

Oleh karena itu saya ingin belajar dari pengalaman Professor X yang saya jadikan salah satu role model karena sikap Prof dalam bersosial media yang menurut saya sangat bijak. Pertanyaan saya yaitu:  
1. Sebagai peneliti dan akademisi, seberapa penting selfbranding?
2. Apakah memiliki "nama" lebih baik dibanding karya? 
3. Apakah jawaban kedua pertanyaan diatas context-based? Apakah ada jawaban berbeda untuk pilihan karir di Indonesia dan di luar negri? 

Terima kasih banyak Prof atas perhatiannya. Saya harap bisa mendapat tanggapan dari Anda.

Salam hormat,
Melani

_____________________________________________________________________

Hey Melani, 
Thanks for reaching out. I visit Heidelberg very often; my wife studied there. What a beautiful city! — and what questions! I won’t directly address your questions but here are my thoughts. 

The most important thing for me is leading an authentic life whatever your profession is. It is about taking up the responsibility of making the world a better place - by striving to be the most competent version of yourself. If fame befalls, it should do so as byproduct not goal. 

Self branding is inherent in everyone, like it or not - its what one chooses to do with it that’s paramount. 

You are studying in one of the world’s best and oldest universities. What you’re standing on is a bottomless sea of potential. Don’t worry about career (if you ever do) - the world is your playground. Be the most deadly force of intellect, offer the world solutions to her problems, then articulate your wisdom to our youngs. By doing so, you are shedding the worst light to those over-claimants.

May 08, 2019

S3 di Jerman

Kemarin adalah salah satu hari terberat dalam hidup saya. Suami saya berangkat ke Jerman untuk melanjutkan studi S3 dan kerja. Doakan saya bisa segera berangkat dan menyusulnya ya :(

Studi dan kerja? Sekaligus? Iya, suami saya berhasil lolos seleksi dari universitas untuk bergabung di proyek penelitian salah satu profesor di Medizinische Fakultät Mannheim. Di proyek itu, suami saya akan bekerja sebagai peneliti yang langsung dibawahi oleh profesor kepala labnya, digaji, mengerjakan proyek penelitiannya sendiri selain yang dikerjakan untuk profesor, dan saat selesai nanti (tiga sampai empat tahun kemudian) akan defence disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor (bisa Dr.med, Dr.rer.nat, atau Dr.sc.hum).

Kok bisa dapat kesempatan seperti itu? Jawabannya sama seperti saat S2, daftar! :)
Suami saya adalah orang yang super gigih. Dia rajin banget browsing di website universitas dan website untuk jobseeker seperti www.findaphd.com, www.jobbnorge.no/search, www.euraxess.de, www.academics.com, Indeed, LinkedIn, dan lain-lain. Kalau saat mencari tempat studi S2 dulu, kami sering banget ikut seminar dan pameran pendidikan luar negeri. Dari pengalaman itu lah, kami jadi melek dan tahu betul apa yang harus dilakukan untuk merealisasikan mimpi kami.

Melanjutkan studi S3 dan jenjang lain yang lebih tinggi adalah cita-cita suami dan saya sejak masih S1 dulu. Seiring berjalannya waktu, ribuan jam browsing dan tanya-tanya pendapat orang lain, ternyata Jerman lah yang menjadi pilihan kami (lagi). Kenapa Jerman? Lain kali aja ya saya ceritanya hehe.

Sekarang saya coba jelaskan perbedaan skema-skema studi S3 di Jerman ya. Semoga penjelasan saya mudah dipahami. Berikut struktur studi S3 di Jerman:

1. The traditional PhD (saya):
  • Bikin proposal penelitian sendiri, independently
  • Cari seorang prospective supervisor (Doktervater/Doktormutter) yang bekerja di bidang penelitian yang sesuai, hubungi, minta kesediaan beliau membimbing penelitianmu
  • Saya tekankan lagi, mahasiswa harus work independently karena di skema ini supervisor (biasanya hanya satu orang) akan memberikan input yang sangat sedikit. Sisanya, you have to figure it out yourself
  • Di struktur ini, PhD bisa dilakukan di universitas, organisasi non-universitas, maupun di institut penelitian di Jerman
  • Fleksibel. Tidak ada kewajiban mengikuti kelas, deadline, dan kurikulum. Mahasiswa hanya perlu fokus menyelesaikan penelitiannya dan menulis disertasi
  • Biaya: studi S3 di Jerman GRATIS. Tapi ada biaya administrasi (sekitar €200/semester), harus punya dana untuk penelitian, dan kita harus punya uang dong untuk menghidupi diri dan keluarga. Berikut dua kasus yang memugkinkan kita untuk mendapatkan biaya hidup:
    • Beasiswa: puji syukur saya mendapat beasiswa German Academic Exchange Service (DAAD) yang bisa mendanai studi saya hingga empat tahun (€1200/bulan). Skema beasiswa lain yang bisa dicoba yaitu Katholischer Akademischer Ausländer-Dienst (KAAD). Beasiswa KAAD terbuka untuk umum. Tidak hanya untuk yang beragama katolik.
    • Research grant: jika profesormu sangat tertarik dengan proposal penelitianmu, beliau akan membantu menulis grant proposal untuk mendanai penelitianmu. Berikut lembaga-lembaga pendanaan begitu baiknya mendukung penelitian menghidupi banyak peneliti di Jerman: German Research Foundation (DFG), the European Union, Fraunhofer Gesellschaft, The Helmholtz Association, The Leibniz Association, The Max Planck Society, Alexander von Humboldt Foundation, dan lain-lain
  • Ujian: di akhir periode studi, doctoral candidate harus submit disertasi, presentasi lisan, dan defence hasil studinya di depan setidaknya dua orang profesor di bidang yang berkaitan. Di Universitas Heidelberg, saat defence ini mahasiswa juga akan diuji pengetahuannya di tiga bidang ilmu yang berkaitan dengan disertasi
2. Structured PhD (suami):
  • Sistemnya kaya cari kerjaan. Cari lowongan S3 di grup-grup penelitian yang kamu minati di institut penelitian/universitas, cek requirements nya dan sesuaikan sama kemampuan diri, kalau cocok bisa langsung apply untuk posisi itu tanpa bikin proposal penelitian terlebih dahulu
  • Seleksinya SUPER KETAT! Lebih ketat dari beasiswa. Karena dari ratusan pelamar, hanya 5-10 yang diundang wawancara, dan pada akhirnya hanya SATU ORANG yang mendapat pekerjaan ini
  • Biasanya lebih berorientasi internasional dan berbahasa inggris
  • Mahasiswa harus mengikuti beberapa courses dan pelatihan dimana di setiap courses/pelatihan itu mahasiswa juga akan diuji
  • Selain bekerja individually untuk disertasi, mahasiswa harus bekerja dalam tim dan berkontribusi untuk penelitian di grup penelitian dengan anggota yang lain
  • Mahasiswa akan dibimbing oleh team of supervisors. Biasanya terdiri dari profesor ketua grup penelitian dan mahasiswa post-doc beliau
  • Mahasiswa akan mendapat soft skills dan hard skills yang akan berguna untuk kehidupan kerjanya nanti, seperti menulis research proposal, grant proposal, presentasi di conference, mengajar mahasiswa S1, hingga membimbing penelitian thesis mahasiswa S2
  • Biaya: grup penelitian di Jerman dibiayai oleh lembaga-lembaga pendanaan riset yang sagat banyak tersedia di Jerman. Jadi selain studi gratis, mahasiswa S3 akan mendapat gaji yang besarannya sudah ditentukan saat pembukaan lowongan pekerjaan (€1.000-1.400/bulan). Namun, gaji bisa meningkat jika kerja mahasiwa sangat baik dan berkontribusi besar terhadap penelitian grup
  • Ujian disertasi sama dengan tipe tradisional
  • Output: karena bekerja dalam tim, bisa jadi pengalaman penelitian dan research papers ketika lulus bisa jadi lebih banyak dibandingkan yang tipe tradisional. Tapi semua tergantung mahasiwanya dong. Bisa saja yang mahasiswa struktur tradisional punya output yang lebih besar :)

Oke. Segitu dulu yang bisa saya ceritain sekarang. Semoga lancar persiapannya untuk teman-teman yang ingin menimba ilmu di Jerman juga. Seperti biasa, boleh email saya kalau mau diskusi dan tanya-tanya lebih lanjut ya (email: melaniratih@yahoo.com).

Tschüss!

April 27, 2019

Misa Paskah di Vatikan, Gratis!

Setelah satu tahun berlalu, akhirnya saya tergerak untuk menyelesaikan draft ini. Siapa tau bawa manfaat untuk seorang dua orang. Hehehe. Saya yakin mayoritas orang-orang katolik di bumi yang bulat ini pingin lah bisa wisata rohani. Yang terkenal sih mulai dari Lourdes di Paris, Vatican, dan Jerusalem. Sebagai seorang katolik saya juga pingin banget melihat langsung dan berdoa di tempat-tempat itu. Syukurnya saya dan suami beruntung banget bisa sekolah di Eropa, tinggal perlu nabung, masak sendiri di rumah dan anti jajan di luar, sampe akhirnya tabungan kami cukup untuk pergi ke Vatican. Dan kebetulan sekali saat itu suami yang nggak punya libur sama sekali ini (masuk 7 hari seminggu, pagi sampe malem, termasuk tanggal merah) dapat jatah libur Hari Paskah.

Karena saya juga pas libur, setelah pengumuman libur yang baru diberi tahu H-4 paskah itu, langsung deh kami pontang-panting cari tiket pp, hotel, dan cara supaya bisa ikut misa paskah di Basilika St. Petrus. 

Kami pergi hari kamis malam, via Flixbus. Bis antar kota antar negara di Eropa yang super ramah kantong buat mahasiswa. Apalagi kami belinya di seorang teman yang jual super murah karena dia punya banyak kupon diskon. Mau tau berapa harga tiket Heidelberg - Roma? 25 Euro seorang, alias 410 ribu rupiah. Gila kannn.. hehe. Tapi ya emang capek buanget sih. Bayangin aja rasanya duduk di bis, perjalanan 16 JAM, cuma berhenti istirahat 1x. Tapi karena kami gamau keluar banyak biaya untuk transportasi yaudah deh...ikhlas...demi bisa keluar masuk museum dan makan makanan Italia.

Jumat Sore kami baru sampai di hotel setelah agak bingung cari metro dari stasiun Triburtina. Langsung deh... setelah menaruh semua barang bawaan kami, kami melunjur ke "Bronze Door". Ngapain? Kami ngikutin petunjuk yang ada di website ini: http://www.papalaudience.org/papal-mass. 

Di web itu,emuanya lengkaaaap banget. Mulai kapan bisa mulai ambil tiket (Iya, untuk ikut misa kita butuh untuk punya tiket. Tiketnya gratis, cuma emang kompetitif banget ya hehe karena cuma 80,000 tiket yang dibagi pada waktu saya ikut misa paskah 2018 kemarin).

Di web tersebut tertulis untuk misa hari perayaan liturgi selain Natal dan Paskah:
If you need between 1 - 6 tickets you can get tickets directly from the Swiss Guards usually from 3 days before the Mass: 
You can collect your tickets directly from the Swiss Guards in St. Peter's Square at the Bronze Door" from 8am till 8pm Summer Time - 8am till 7pm Winter Time.

Untuk misa Natal dan Paskah:
However if it's a Popular Mass such as Christmas Eve or Easter Mass you will need to reserve tickets in advance to guarantee availability. 
Untuk yang butuh tiket lebih dari 10, harus reservasi dulu. Di web ini ada formnya, nanti form itu diisi, lalu dikirim balik ke Vatican via Fax. Iya fax aja, mereka nggak pakai email. Lalu nanti akan dikonfirmasi bakal dapet tiket atau enggaknya. Kalo dapet, tiket bisa diambil 1-3 hari (di Swiss Guards juga, di lokasi yang sama seperti diatas) sebelum misa.

Untuk misa Natal dan Paskah disarankan pakai metode ini juga untuk menjamin bisa dapet tiket, meskipun jumlah tiket kurang dari 10. Waktu itu kami nekat berangkat ke Roma tanpa buat reservasi seperti ini dulu dan nekat ketemu Swiss Guard langsung. Thank God we are definitely blessed.

Semoga doa kalian untuk bisa ikut misa di Vatican terkabul ya! Amin.

salah seorang Swiss Guard di bronze door

tiket misa Paskah 2018

suasana 1 jam sebelum misa dimulai, masih sepi

buku misa Paskah 2018

Abang-abang Swiss Guard jual mahal nih.. susah bener nengok buat difoto bentar aja.. 
eh dapet juga deh satu yang mau nengok

jangan lupa beli rosario yang sudah diberkati Paus :)

April 21, 2019

Buta

Tepat ketika kita merasa telah berhasil mendapatkan semua yang kita inginkan, saat itulah mata kita akan buta dan mata hati yang bekerja.
Sayangnya semua kelimpahan berkat tersebut membuat ego tertanam begitu tinggi sehingga mata hati sulit terbuka. Kita terlalu fokus dengan apa yang kita baru dapatkan sehingga apa yang selama ini kita miliki terlupakan.
Dan perlahan, hal yang sedari dulu ada itu lama kelamaan hilang, menguap. Dan meninggalkan kita dengan kebahagiaan yang semu.
Rasanya seperti pendaki yang berhasil berdiri di puncak gunung tertinggi di bumi, tapi euforia tersebut akan perlahan berubah jadi kengerian ketika ia menyadari, tidak ada lagi orang yang bisa menemaninya di atas sana.

Saya harus membuka mata. Saya takut.

Saya tidak mau buta.