THE BACKSTAGE
there's so much going on
unspoken in the back
of the mind

April 28, 2013

Do I deserve this?

I don't really know what to feel. Somehow I think every thing that happened to me was unfair. Yet, another part of me senses that it is what I deserve for each wrongdoing. I want to escape from all these. I am suffocating, I can't breathe. 

April 19, 2013

Hey! kamu dapat salam

Aku ini si mahluk yang banyak dibenci orang. Tapi juga disayang. Aku cepat. Bisa meliuk-liuk melintasi si garis abu-abu. Seakan-akan, aku lah raja. Bisa bergerak dan berhenti semauku.
Banyak kejadian indah terjadi karenaku, tapi tak jarang keberadaanku memberi kesempatan orang bertindak jahat.
Kadang aku sebal. Ingin berteriak rasanya. Bebanku terlalu berat, kadang dipaksa melebihi kemampuanku. Sampai aku terbatuk-batuk. Tapi tetap saja aku harus berjalan. Tapi tak apa. Melihat senyum mereka aku sudah senang. Apalagi melihat tuanku yang berbahagia... Aku banyak belajar darinya. 

Tanpa dia aku tidak bisa apa-apa...

Salam,
Angkot


April 16, 2013

New Me

Today, I realized something of importance. Although the notion of "growing up" has been embedded within my head, the realization is not as easy as I thought before. Even more, I thought I am a grown up. Well, according to my age, I am supposed to be mature enough. Yet, among all friends, in facing many circumstances, it is very often that I acted like a child; emotional, reactive, careless and worst, brainless.

It is not a surprise that I thought of suicidal most of the times I feel devastated, especially in romance. Stupid? I perhaps am; or maybe definitely am. I won’t deny.

So, this morning, I just feel like my problem is cracking my head. Nobody said composing a thesis would be easy; people would tend to love if there’s any help offered. So do I.

I was very glad that my genius man was just discussing to help me build a great case of research. Unfortunately, it turned out nothing like I had imagined before. I know that he ‘likes’ to be in control, but nothing like this. He wanted me to follow exactly everything he wanted me to do, without any further discussion. Nothing at all.

My concern is more that I want him to believe in me too. I want him to give me some portion of decision-making, so that I can gain a little bit of confidence over what I was about to submit. You know, every thing he said is like a constitution; black at the top of the white, no bargaining whatsoever; do it or die for the punishment.

However, when I was about to tell my friend about the frustration I am going to (like I used to couple of months before), suddenly I hesitated. I knew he wouldn’t like me saying anything bad about him to my friends or relatives (basically anyone), so I stopped abruptly.

Out of nowhere, I began to think of it positively. I tried to change my perspective. I attempted myself to take a look at this as a form of affection, sacrifice, and hope. I should have been very thankful for having a mentor just like him.

I found faith, as one thing that will remove all doubts and negative impositions. Faith is indeed the foundation.

Despite the fact that sometimes I feel deceived, I have doubts in my heart, I can’t stop believing in this special man, without really knowing the reason why.

Maybe, I just want to. Maybe, I just am growing up. 
*fingers crossed*

April 15, 2013

soon to be

Mereka bilang itu ambisi
Saya bilang ini mimpi

Dan akan saya buat menjadi nyata

April 14, 2013

Another Cover


oke ini blog saya, jadi saya berhak nulis apa saja, termasuk mempermalukan diri sendiri dengan mempost rekaman fals ini hehe :) berhati-hatilah, anda sudah diperingatkan.

April 10, 2013

Si Penakut

Saya akui, saya orang yang pesimis.. atau tepatnya negative thinking. Setiap ada suatu hal baik yang terjadi, di balik sana pasti ada suara di kepala saya yang selalu memunculkan kata "tapi...". Kelanjutannya? Beragam dan umumnya bukan sesuatu yang menyenangkan.

Ah, saya ini penakut. Saya takut tertawa karena seringkali, ketika saya tertawa dan begitu bahagianya hari ini, esok saya harus membayarnya dengan kesedihan yang juga sebegitunya. Nggak cuma sekali saya mengalami itu dan hal tersebut menyebabkanmindset ini terus ada dalam benak saya.

Saya juga selalu takut jika apa yang saya kerjakan bisa begitu lancar dan tanpa hambatan. Pasti ada sesuatu yang menunggu saya di depan sana dan biasanya hal itu bukan hal yang mudah untuk dilewati. Terlalu.. terlalu aneh untuk saya bisa melakukan semuanya dengan smooth. Dan memang begitu biasanya.

Bukannya saya nggak pernah bersyukur dengan apa yang saya miliki sekarang. Saya bersyukur, sungguh, karena saya nggak tau sampai kapan ini semua akan masih menjadi milik saya. Saya selalu ingin membahagiakan orang-orang di sekitar saya seperti mereka membuat saya bahagia.

Hanya saja, saya justru selalu mengacaukan semuanya. Ah, curhat. Haha..

Mungkin ini saatnya saya memperbaiki semuanya. Tapi saya takut saya nggak punya cukup waktu...

April 09, 2013

Proses vs Hasil

Dari dulu saya selalu terganggu dengan dua hal itu. Dan entah kebetulan atau apa, saya sedang dihadapkan dengan situasi di mana pemikiran ini muncul lagi di permukaan.

Saya baru aja melewati minggu ujian akhir ketika teman-teman dari kampus lain sudah heboh membicarakan angka indeks prestasi. Ada yang bersyukur, ada yang berlomba merendahkan diri. Pameran antarkampus juga nggak terelakkan. Mereka saling membandingkan. Dan meskipun nggak tersurat, kemungkinan besar akan muncul rasa bangga ketika temannya di kampus lain memiliki nilai yang lebih buruk.

Siapa yang peduli kita belajar mati-matian, nggak tidur semaleman, rajin dengerin dosen, punya catetan super lengkap? Yang diliat IPnya, apa di atas 3?

See? Intinya semua tentang hasil.

Ketika orang bijak bilang, "proses itu penting",
lalu di mana aplikasinya?
Cara orang menilai masih deduktif. Melihat hasil dulu, baru dirunut detail kerjanya.
Sedikit banget orang yang bisa menghargai proses kerja seseorang. Mungkin ada, tapi ketika ternyata hasilnya nggak sesuai harapan, proses di belakangnya jadi sia-sia.

Jadi, sebenernya di mana yang lebih penting? Apa nasihat itu masih bisa saya anut untuk kehidupan saya di masa mendatang?

April 08, 2013

Terkadang

Ada satu fase di mana kita cuma butuh waktu sendiri. Memilih minggir ketika semua sibuk berlarian mencari kesenangan. Memilih ke sudut ketika yang lain menyerbu ke tengah. Menghitung lambat setiap detik yang terlewat. Menikmati perubahan sudut bumi ketika ia berputar pada porosnya. Menyerapi perubahan volume udara di ruang yang tidak kosong itu.

Tenggelam dalam sepi. Bukan untuk sedih tapi untuk memahami.
Terpejam. Melatih indera peraba bekerja lebih ekstra. Memaksa indera pencium peka terhadap aroma. Mendorong indera pendengar berlatih mendengar nada yang nyaris tak bersuara.

Tenggelam dalam sepi. Bukan untuk sedih tapi untuk berpikir.
Terpejam. Melihat dalam diri tentang apa yang harus dikoreksi. Mereka-reka bentuk kehidupan apa yang ingin dimiliki. Membentuk imaji tentang bahagia yang selama ini abstrak dan tak bernyawa.

Tenggelam dalam sepi.
Bukan untuk sedih tapi untuk menyendiri.

April 07, 2013

Blessed

Hai. Mau cerita.
Di desa mbah (nenek) ku satu-satunya yang belom di pundhut sana, daerahnya tergolong miskin dengan rata-rata penduduk menengah kebawah yang sehari-harinya bekerja sebagai petani. Jadi bisa dibayangkan bukan  bagaimana beratnya beban jika ada salah satu keluarga yang sakit dan membutuhkan biaya mahal untuk pengobatan.
Sebut saja ibu A tetangga mbah di desa, beliau terkena HNP atau yang biasa org awam bilang, saraf kejepit. Oleh dokter yang mendiagnosa dirujuk untuk operasi, mendengar kata operasi tentu saja ibu A dan keluarga ketakutan dengan biaya yang harus dilunasi. Di perjalanan pulang ibu A bertemu dengan seseorang yang sebelumnya menderita penyakit yang sama. Orang tersebut menyarankan ibu A supaya berobat ke salah satu rumah sakit negeri di Solo, orang tersebut juga menceritakan biaya untuk operasi yang harus ia lunasi, 90juta.  Yup, sembilan puluh juta rupiah. Sadar akan kondisi keuangannya, ibu A memilih untuk membiarkan penyakitnya.
Satu minggu kemudian datang mobil ambulans ke rumah ibu A, menjemput ibu A ke rumah sakit negeri. Oleh perawat ibu A disuruh untuk berkemas karena beberapa hari kedepan beliau harus tinggal di rumah sakit, setelah operasi selesai. Dan tanpa diduga sebelumnya, biaya operasi ibu A sudah dilunasi oleh seorang donatur yang ternyata adalah orang yang ia temui dan yang memberikan saran supaya ibu A di operasi di rumah sakit negeri tersebut.

Jengjengg. Panjang ya?
Itu adalah kisah nyata tanpa bumbu-bumbu palsu sedikitpun. Inti dari cerita itu, setiap keluarga memiliki masalahnya masing-masing. Baik kesehatan, keuangan, keharmonisan dalam rumah tangga, kesulitan dalam mendidik anak-anak, dan sebagainya. Kita hidup di dunia ini tidak sendiri, bersyukurlah dalam setiap berkat yang kamu terima, sekecil apapun, karena mungkin diluar sana seseorang sangat mendambakannya. Dan berkat Tuhan kita rasakan melalui tangan orang-orang di sekitar kita. Jadi terbukalah, supaya berkat itu datang dengan mudah, dan selalu percaya bahwa Tuhan tidak pernah memberikan masalah tanpa memberi kita cara untuk menyelesaikannya.