THE BACKSTAGE
there's so much going on
unspoken in the back
of the mind

July 26, 2021

My Reasons to Pursue a PhD

As a medical doctor, people (still) keep asking me why am I not practicing and be a REAL doctor in Indonesia instead of pursuing a PhD. On top of that, being a first generation international PhD is adding the burden. It is not easy at all. So why am I keep pursuing my degree? These are my honest reasons to do a PhD in epidemiology and you may or may not relate to it. It is more than okay if you don't.


1. Intellectual stimulation

My master's degree was great and from the top public health school in Germany, but it was also the one that got me wanting more. My hunger for intellectual stimulation started when I got in medical school and it has not stopped since.

2. For the love of research

During the third year in medical school, my mom diagnosed with breast cancer. Since then, I fell in love with oncology and cancer prevention research. I want to do impactful research that can help people preventing this disease.

3. To bring about a change

Well, it is not necessary to get a PhD to bring about a change. But for me, for an international student, to help people all over the globe - I needed tools that I felt I would get through a PhD.


Honestly, these were my only reasons. I did not know much what academia was about, how flexible it can or cannot be, how much money will I get, nothing. I only knew my love for research and trusted my ability to make it happen. And I take a leap of faith. I will always remember what my mom said, do what you feel for strongly.

April 21, 2021

Mid-PhD Reflection

The first half of my PhD was quite a rollercoaster of emotions and feelings. I learnt so much about myself and my work and truly developed personally and academically. 

Spring 2020, I was half way through my first year that we went into lockdown which really affected my mental health and work. Plans had to be changed as travel to Thailand, where I was supposed to carry out fieldwork, was no longer possible. The first few months of lockdown was very difficult, however, I slowly managed to come up with a plan B and get back on track. I ended my first year on quite a low and feeling very unsure about what the rest of my PhD would look like and if my plan B would work and be enough. 

Slowly but surely, I started to find my feet and realised the feelings I had were totally normal and most people go through it when they start a PhD. My supervisor was VERY supportive and I started feeling more confident in my abilities. At the end of my first year, I finished the first-first authored manuscript, the draft of my systematic review and made a start on my ethics application.

Life can throw many curve balls at you, whether that’s a minor barrier or a global pandemic. I learnt to adapt to situations by creating alternative plans through systematic methods and be patient when such situations occur.  My time management skill also climb up. The work load involved in a PhD really hit me hard! There’s multiple things to be at one time so it’s imperative to develop strong time management skills. I am grateful that I am flexible and open minded to change.

April 12, 2021

Why and How: Pengalaman Penelitian saat S1

Pengalaman penelitian sangat dicari terutama jika kamu berada di bidang yang berhubungan dengan medis atau kesehatan. Bahkan jika kamu tidak ingin mengejar "karir penelitian", mendapatkan pengalaman penelitian selama S1 adalah cara yang bagus untuk mempelajari keterampilan baru dan juga akan terlihat keren di CV. Tulisan ini akan membahas mengapa pengalaman penelitian saat studi S1 itu penting dan bagaimana cara mendapatkannya, terutama untuk mahasiswa kedokteran.

Why gain research experience?


Kesempatan emas untuk mempelajari keterampilan utama seperti organisasi, kerja tim, critical thinking, perencanaan dan manajemen proyek, pemecahan masalah, dll.

Explore career directions dengan terlibat dalam berbagai aktivitas penelitian dan berbicara dengan profesional yang berbeda untuk mengetahui apa yang kamu sukai.

Pengalaman kerja. Poin ini sangat penting untuk diperhatikan karena jika ingin melanjutkan studi dengan beasiswa, pengalaman kerja adalah salah satu poin yang menjadi poin penilaian. Pengalaman penelitian ini dapat dihitung sebagai pengalaman kerja (jangan lupa minta kontrak resmi) sehingga sehabis lulus S1, kamu bisa langsung mendaftar beasiswa S2 yang diinginkan.

Looks great on your CV! Ini menampilkan kegiatan ekstrakurikuler dan inisiatif dalam memperoleh peluang baru yang berkaitan dengan bidangmu. I used a lot of examples from my undergraduate research experience for my applications, they are great conversation starters.

Get to see how evidence-based medicine works and how it relates to your medical or health field. This will open your mind to the role in research in medicine and health and in healthcare. You are likely to use research in some aspect of your career, so knowing the basis of research puts you at an advantage in understanding the application of experimental techniques and clinical uses.

Bekerja dengan akademisi dan peneliti klinis untuk membangun jejaring. Membangun jejaring adalah kunci di setiap bidang dan kamu akan terkejut bahwa bertemu orang yang berbeda dari disiplin ilmu yang berbeda di bidangmu akan menjadi nilai yang luar biasa.

Peluang publikasi! Terlibat dalam penelitian, apakah itu peran kecil atau besar, kemungkinan besar akan membuat namamu tercantum pada publikasi yang merupakan mata uang utama dalam karir akademis.

You will learn something new! Dulu saya belajar banyak sekali tentang infectious diseases and health policy, meskipun itu bukan bidang saya sekarang, tetapi itu sangat menarik dan saya bisa masuk ke percakapan tentang aspek-aspek topik ini.


How to gain research experience?


Network, network, network!!! Semakin banyak orang yang kamu ajak bicara dan dekati, semakin besar kemungkinan kamu mendapatkan peluang penelitian. Hadiri konferensi, seminar, kuliah di bidang yang kamu minati dan bicaralah dengan akademisi dan peneliti yang berbeda. Tunjukkan minat dan selalu minta detail kontak mereka sehingga kamu dapat menindaklanjuti percakapan melalui email.

Hubungi dosen, tutor pribadi, dan anggota fakultas lainnya secara pribadi. Ini adalah cara yang saya lakukan untuk bisa sampai di titik di mana saya berada sekarang. Saat kuliah S1, saya menghubungi seorang dosen untuk menanyakan adakah proyek penelitian yang membutuhkan tenaga saya sebagai asisten penelitian. Beliau dengan sangat baiknya membalas pesan saya tersebut dan sejak saat itu saya menjadi asisten penelitian beliau selama 5 tahun. Hingga saat ini dosen tersebut adalah mentor saya.

Explore opportunities di lembaga luar universitas atau universitas lain yang mungkin membuka peluang penelitian. Khususnya di luar negeri, banyak akademisi, mahasiswa PhD dan pasca-doktoral mencari mahasiswa sarjana untuk membantu beberapa aspek penelitian mereka, dan mereka akan mengambil mahasiswa dari universitas yang berbeda. Manfaatkan ini dan carilah peluang ini secara aktif.


Meskipun peluang penelitian mungkin terbatas saat ini karena pandemi COVID-19, penelitian terhadap penyakit lain masih berlangsung, apakah itu terkait COVID-19 atau tidak, kamu bisa mendapatkan pengalaman ini! Lab dan universitas perlahan dibuka dan akan mencari peneliti mahasiswa karena penelitian selalu tinggi permintaannya. Kamu juga dapat menemukan lebih banyak peluang penelitian jarak jauh yang juga sangat berguna, jadi jangan lewatkan. Mendapatkan pengalaman penelitian selama program sarjana sangat berharga dan merupakan sesuatu yang saya rekomendasikan kepada semua siswa untuk melakukan bidang apa pun yang kamu geluti.

Rejections

In a world where social media has taken over, it can be difficult to separate online vs real life. You open Instagram, Twitter, Facebook and you get inundated with pictures and announcements of achievements and successes. However, we rarely hear about people getting rejected and this can leave a rather skewed version of reality. Rejections are an integral part of life and if someone hasn’t faced rejection, it’s highly likely they have never put themselves in a position to get rejected i.e. never applied for a job, never applied for a course/degree, never asked someone out or proposed to someone. Does someone like that even exist? So, you can see that rejections are a normal part of life which everyone faces at varying levels and often behind all the successes we see, there are first many rejections. It’s not the rejection that defines us, but how we deal with it that matters.

I have faced my fair share of rejections: scholarship applications, job applications, article submissions. It’s never nice getting rejected, but I really believe that rejections are blessings in disguise. Getting a rejection is not the end of the world. It gives time to reflect on your decisions and re-evaluate whether the opportunity was the one for you. Sometimes we get so blind chasing something just because that is all we have ever known, we forget to think about the numerous other opportunities in life which may actually be better for us. 

A rejection might just be the thing to make you realise and explore new options. That is not to say that you should give up on your dreams, absolutely not. If you truly believe you want something then keep going for it, but there is no harm in checking out different opportunities. You just never know what is best for you.

September 12, 2019

A letter

Dear God,
I don’t know what the future holds but I’m counting on you.
I don’t know what you’re planning for me. I don’t know how the next few months will unfold but I’m counting on you to give me the strength and patience I need to get through it.
I don’t know if you will answer my prayers or if you will keep taking me on another ride I wasn’t prepared for.
I don’t know if you will give me a break or another difficult test.
I have been trying to handle everything in the best and wisest way possible. I’ve been trying to connect all the dots and understand the bigger picture and follow the signs you’ve been sending me but I admit that I’m tired.
My brain is tired. My heart is tired. My soul is tired.
I don’t know what the future holds but I’m ready for things to change. I’m ready for my life to finally start making sense. I’m ready for peace. I’m longing for stability.
I know that either way, I’ll be fine. That either way, I’ll count on you. I know that you will guide me through the hard times like you always do but I guess I’m asking for leeway this time. I’m ready for a miracle to lift all the heaviness and all the burdens.
I’m counting on you this time but in a different way. Counting on your generosity. Counting on your forgiveness. Counting on your magnificent surprises. Counting on your mercy.
I don’t know what the future holds but I want it to be brighter and better than what I had imagined.
I don’t know what the future holds but all I know is that there’s nothing you can’t do. There’s nothing you can’t fix. That you are the only one who can turn everything around in the blink of an eye.

September 08, 2019

Berguru Kehidupan

Dear Professor X, 

Perkenalkan saya Melani. Saat ini saya sedang melakukan doctoral research di Universität Heidelberg Jerman.

Akhir-akhir ini makin terlihat maraknya self branding yang sering disertai dengan overclaiming di Indonesia. Di dunia akademisi, sering saya lihat rekan-rekan yang memasang status facebook/story instagram terkait naskah publikasinya yang published, foto saat presentasi poster, hingga ada beberapa yang menulis link LinkedIn di profile Instagram. Kultur seperti ini tidak pernah saya temukan di Jerman selama masa studi master dan doktoral saya disini.

Oleh karena itu saya ingin belajar dari pengalaman Professor X yang saya jadikan salah satu role model karena sikap Prof dalam bersosial media yang menurut saya sangat bijak. Pertanyaan saya yaitu:  
1. Sebagai peneliti dan akademisi, seberapa penting selfbranding?
2. Apakah memiliki "nama" lebih baik dibanding karya? 
3. Apakah jawaban kedua pertanyaan diatas context-based? Apakah ada jawaban berbeda untuk pilihan karir di Indonesia dan di luar negri? 

Terima kasih banyak Prof atas perhatiannya. Saya harap bisa mendapat tanggapan dari Anda.

Salam hormat,
Melani

_____________________________________________________________________

Hey Melani, 
Thanks for reaching out. I visit Heidelberg very often; my wife studied there. What a beautiful city! — and what questions! I won’t directly address your questions but here are my thoughts. 

The most important thing for me is leading an authentic life whatever your profession is. It is about taking up the responsibility of making the world a better place - by striving to be the most competent version of yourself. If fame befalls, it should do so as byproduct not goal. 

Self branding is inherent in everyone, like it or not - its what one chooses to do with it that’s paramount. 

You are studying in one of the world’s best and oldest universities. What you’re standing on is a bottomless sea of potential. Don’t worry about career (if you ever do) - the world is your playground. Be the most deadly force of intellect, offer the world solutions to her problems, then articulate your wisdom to our youngs. By doing so, you are shedding the worst light to those over-claimants.

May 08, 2019

S3 di Jerman

Kemarin adalah salah satu hari terberat dalam hidup saya. Suami saya berangkat ke Jerman untuk melanjutkan studi S3 dan kerja. Doakan saya bisa segera berangkat dan menyusulnya ya :(

Studi dan kerja? Sekaligus? Iya, suami saya berhasil lolos seleksi dari universitas untuk bergabung di proyek penelitian salah satu profesor di Medizinische Fakultät Mannheim. Di proyek itu, suami saya akan bekerja sebagai peneliti yang langsung dibawahi oleh profesor kepala labnya, digaji, mengerjakan proyek penelitiannya sendiri selain yang dikerjakan untuk profesor, dan saat selesai nanti (tiga sampai empat tahun kemudian) akan defence disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor (bisa Dr.med, Dr.rer.nat, atau Dr.sc.hum).

Kok bisa dapat kesempatan seperti itu? Jawabannya sama seperti saat S2, daftar! :)
Suami saya adalah orang yang super gigih. Dia rajin banget browsing di website universitas dan website untuk jobseeker seperti www.findaphd.com, www.jobbnorge.no/search, www.euraxess.de, www.academics.com, Indeed, LinkedIn, dan lain-lain. Kalau saat mencari tempat studi S2 dulu, kami sering banget ikut seminar dan pameran pendidikan luar negeri. Dari pengalaman itu lah, kami jadi melek dan tahu betul apa yang harus dilakukan untuk merealisasikan mimpi kami.

Melanjutkan studi S3 dan jenjang lain yang lebih tinggi adalah cita-cita suami dan saya sejak masih S1 dulu. Seiring berjalannya waktu, ribuan jam browsing dan tanya-tanya pendapat orang lain, ternyata Jerman lah yang menjadi pilihan kami (lagi). Kenapa Jerman? Lain kali aja ya saya ceritanya hehe.

Sekarang saya coba jelaskan perbedaan skema-skema studi S3 di Jerman ya. Semoga penjelasan saya mudah dipahami. Berikut struktur studi S3 di Jerman:

1. The traditional PhD (saya):
  • Bikin proposal penelitian sendiri, independently
  • Cari seorang prospective supervisor (Doktervater/Doktormutter) yang bekerja di bidang penelitian yang sesuai, hubungi, minta kesediaan beliau membimbing penelitianmu
  • Saya tekankan lagi, mahasiswa harus work independently karena di skema ini supervisor (biasanya hanya satu orang) akan memberikan input yang sangat sedikit. Sisanya, you have to figure it out yourself
  • Di struktur ini, PhD bisa dilakukan di universitas, organisasi non-universitas, maupun di institut penelitian di Jerman
  • Fleksibel. Tidak ada kewajiban mengikuti kelas, deadline, dan kurikulum. Mahasiswa hanya perlu fokus menyelesaikan penelitiannya dan menulis disertasi
  • Biaya: studi S3 di Jerman GRATIS. Tapi ada biaya administrasi (sekitar €200/semester), harus punya dana untuk penelitian, dan kita harus punya uang dong untuk menghidupi diri dan keluarga. Berikut dua kasus yang memugkinkan kita untuk mendapatkan biaya hidup:
    • Beasiswa: puji syukur saya mendapat beasiswa German Academic Exchange Service (DAAD) yang bisa mendanai studi saya hingga empat tahun (€1200/bulan). Skema beasiswa lain yang bisa dicoba yaitu Katholischer Akademischer Ausländer-Dienst (KAAD). Beasiswa KAAD terbuka untuk umum. Tidak hanya untuk yang beragama katolik.
    • Research grant: jika profesormu sangat tertarik dengan proposal penelitianmu, beliau akan membantu menulis grant proposal untuk mendanai penelitianmu. Berikut lembaga-lembaga pendanaan begitu baiknya mendukung penelitian menghidupi banyak peneliti di Jerman: German Research Foundation (DFG), the European Union, Fraunhofer Gesellschaft, The Helmholtz Association, The Leibniz Association, The Max Planck Society, Alexander von Humboldt Foundation, dan lain-lain
  • Ujian: di akhir periode studi, doctoral candidate harus submit disertasi, presentasi lisan, dan defence hasil studinya di depan setidaknya dua orang profesor di bidang yang berkaitan. Di Universitas Heidelberg, saat defence ini mahasiswa juga akan diuji pengetahuannya di tiga bidang ilmu yang berkaitan dengan disertasi
2. Structured PhD (suami):
  • Sistemnya kaya cari kerjaan. Cari lowongan S3 di grup-grup penelitian yang kamu minati di institut penelitian/universitas, cek requirements nya dan sesuaikan sama kemampuan diri, kalau cocok bisa langsung apply untuk posisi itu tanpa bikin proposal penelitian terlebih dahulu
  • Seleksinya SUPER KETAT! Lebih ketat dari beasiswa. Karena dari ratusan pelamar, hanya 5-10 yang diundang wawancara, dan pada akhirnya hanya SATU ORANG yang mendapat pekerjaan ini
  • Biasanya lebih berorientasi internasional dan berbahasa inggris
  • Mahasiswa harus mengikuti beberapa courses dan pelatihan dimana di setiap courses/pelatihan itu mahasiswa juga akan diuji
  • Selain bekerja individually untuk disertasi, mahasiswa harus bekerja dalam tim dan berkontribusi untuk penelitian di grup penelitian dengan anggota yang lain
  • Mahasiswa akan dibimbing oleh team of supervisors. Biasanya terdiri dari profesor ketua grup penelitian dan mahasiswa post-doc beliau
  • Mahasiswa akan mendapat soft skills dan hard skills yang akan berguna untuk kehidupan kerjanya nanti, seperti menulis research proposal, grant proposal, presentasi di conference, mengajar mahasiswa S1, hingga membimbing penelitian thesis mahasiswa S2
  • Biaya: grup penelitian di Jerman dibiayai oleh lembaga-lembaga pendanaan riset yang sagat banyak tersedia di Jerman. Jadi selain studi gratis, mahasiswa S3 akan mendapat gaji yang besarannya sudah ditentukan saat pembukaan lowongan pekerjaan (€1.000-1.400/bulan). Namun, gaji bisa meningkat jika kerja mahasiwa sangat baik dan berkontribusi besar terhadap penelitian grup
  • Ujian disertasi sama dengan tipe tradisional
  • Output: karena bekerja dalam tim, bisa jadi pengalaman penelitian dan research papers ketika lulus bisa jadi lebih banyak dibandingkan yang tipe tradisional. Tapi semua tergantung mahasiwanya dong. Bisa saja yang mahasiswa struktur tradisional punya output yang lebih besar :)

Oke. Segitu dulu yang bisa saya ceritain sekarang. Semoga lancar persiapannya untuk teman-teman yang ingin menimba ilmu di Jerman juga. Seperti biasa, boleh email saya kalau mau diskusi dan tanya-tanya lebih lanjut ya (email: melaniratih@yahoo.com).

Tschüss!